Jumat, 25 Maret 2016

Pilrek Untirta 2015: Untuk Kampus, Mahasiswa, Masyarakat atau untuk?

Tahun 2015 merupakan tahun pemilihan rektor bagi Untirta. Tahun ini diharapkan membawa angin baru pada kompleksnya problematika Untirta hari ini. Hanya saja, pemilihan rektor di negeri ini memang umumnya telah menyunat demokrasi mahasiswa. Pemilihan rektor bukanlah pesta rakyat Untirta, yang dalam hal ini menyangkut seluruh elemen civitas akademis Untirta, baik mahasiswa, dosen, staf, dekan, sampai OB (Office Boy). Ini merupakan pesta demokrasi para pemangku kebijakan (baca:kepentingan) yaitu Senat dan menteri. Sebagai mana tertuang dalam Statuta Untirta, bahwa yang dimaksud senat adalah streering komitte organization dari tingkatan fakultas, baik dekanat dan jajarannya serta perwakilan dosen yang telah dianggap memenuhi kriteria yang di tetapkan oleh senat Untirta. Maka ini menjadi arus tarik menarik di tataran atas, maka dimana letak kedaulatan mahasiswa??? Melihat historis, Tentu kita sadar atas peran mahasiswa yang turut mengambil panggung dalam meraih kemerdekaan, yang dalam saat itu merupakan golongan cendikia-cendikia. Tentu kita juga tersadar seberapa kekuatan mahasiswa. Saat mahasiswa mampu beraspirasi, melakukan gerakan yang berduyun-duyun membawa ombak keras dalam memecahkan kekokohan orde baru. Bercermin dengan kekuatan tersebut maka bagaimana kekuatan mahasiswa kini??? Kedaulatan mahasiswa perlahan tergunting sedemikian kecil dan tak tertata kembali. Suara mahasiswa cenderung menjadi debu dari luasnya padang pasir. Hingga hari ini bakal calon Untirta terdiri dari 4 orang yang masing-masing memiliki kapabilitas. Yang kemudian hari akan menyampaikan visi-misinya, namun terbentur dengan realitas karena lagi-lagi peran mahasiswa dinihilkan. Penyampaian visi-misi hanya melibatkan orang-orang yang berkepentingan saja, mahasiswa dianggap tak memiliki kepentingan dalam ranah ini. Pemilihan rektor tahun ini harusnya mampu membawa Untirta menjadi oase dari peliknya polemik yang tengah di hadapi kini, tak sekededar kita membahas pada komersialisasi pendidikan, tapi lebih dari itu banyak tantangan yang harus disadari betul para calon yang memperebutkan kedudukan atas kursi panas rektor. Karena tak di pungkiri bahwa rektor yang nantinya terpilih harus mampu untuk mentrasformasikan Untirta yang kini notabenenya sebagai satu-satunya universitas negeri di Banten mengarak pada progresifitas. Tantangan dari dalam kampus ialah permasalahan klasik, berupa infrastruktur seperti kelas yang nyaman, perpustakaan yang lengkap, kantin yang luas, lapangan yang digunakan sesuai fungsinya, area untuk parkiran sehingga tak lagi harus sampai menebang area hijau kampus. Belum lama ini, Untirta mengahadapi masalah terkait parkiran, dimana sempat berhembus kabar untuk dikomersialkan, namun atas dorongan dari suara bawah (baca: mahasiswa) maka kini izin masuk parkiran tak sepenuhnya dikomersialkan. Di Untirta sendiri keterbukaan infomasi ialah minim, belum lagi terjadi pula masalah UKT yang hingga kini masih menjadi bola panas. Selain itu ada pula tantangan dari luar adalah bagaimana untirta mampu rebranding, keluar dari ranah di tingkat Banten menuju ke ranah Nasional ataupun Internasional, mengingat ini tahunnya MEA. Dimana terjadi tarik menarik antar Negara ASEAN. Tentu Untirta harus bisa memunjukan kualitasnya, tanpa melupakan polemik masyarakat sekitar. Untirta harus peka terhadap masalah dan dapat berkontribusi positif terhadap masyarakat sekitar, mampu menganalisis ilmiah dan mencari solusi , terutama masalah Banten seperti kemiskinan, korupsi, dan infrastruktur yang dimana ini masih dirasa minim implementasinya. Maka dari berbagai permasalahan yang ada, ini diharapkan tidak sekedar menjadi wacana yang terus dibicarakan menjadi sebuah retorika pengambilan panggung pencitraan. Namun, menghasilkan langkah konkrit demi kemajuan untirta. Keluhan mahasiswa lebih mengarah pada peletakan anggaran untuk sub-sub vital tersebut, mengingat untuk menempuh pendidikan mahasiswa tidak membayar sedikit. Perlu menjadi suatu kesadaran pula, bahwa rektor yang terpilih nantinya harus mampu memiliki jaringan yang mumpuni guna menopang Untirta serta mampu menetaskan solusi yang memang pro kepada seluruh elemen civitas kampus Untirta. Namun, menjadi hal yang lucu apabila dalam pengambilan kebijakan kedepannya hanya pihak-pihak tertentu yang berperan, tanpa melibatkan mahasiswa. Mahasiswa merupakan agent of change dan agent of control. Apakah ini bentuk penglenyapan identitas mahasiswa???? Padahal polemik yang terjadi masih menyangkut kepada Tridharma Perguruan Tinggi yang menjadi asas mahasiswa berupa pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Kita menyadari betul bahwa rektor yang nantinya terpilih akan berpengaruh sangat besar dalam arah gerak mahasiswa. Lantas, mahasiswa tentu harus meletakan perannya. Bagaimana pun mahasiswa perlu mengontrol keberlangsungan pemilihan rektor. Karena inilah awal transformasi Untirta menuju 4 tahun mendatang. Evaluasi besar perjalanan rektor saat ini beserta rekomendasinya mutlak menjadi aspirasi Keluarga Besar Mahasiswa Untirta. Setiap mahasiswa wajib ambil bagian dalam gerak pengawalan pemilihan rektor ini. Dari kesadaran inilah konstruksi kedaulatan mahasiswa perlu digaungkan dan rill. Mahasiwa perlu mendorong agar nantinya rektor yang terpilih terus melibatkan peranan aktif mahasiswa dalam dalam perumusan dan pemetaan kebijakan sebagai bentuk demokratisasi kampus. Melalui kedaulatan mahasiswa, kita wujudkan instansi universitas sebagai wadah memerdekakan manusia, memanusiakan manusia. Jadi, kenapa kita masih DIAM????

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/deraimerahperjuangan/pilrek-untirta-2015-untuk-kampus-mahasiswa-masyarakat-atau-untuk_5562f8f54023bd4e5a6df030

Tidak ada komentar:

Posting Komentar