Jumat, 25 Maret 2016

“Pendidikan Berkualitas Dan Perombakan Tatanan Sistem Ekonomi-Politik Kapitalistik Sebagai Jalan Baru Melenyapkan Korupsi”

Secara etimologi, Korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus.Corruptio berasal dari kata corrumpere, yang merupakan suatu kata latin yang lebih tua yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitucorruptioncorrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptiekorupptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu Korupsi.

Korupsi juga sering dimaknai sebagai keserakahan bernoda/ tanwu (Cina), makan bangsa/ gin moung(Muangthai), dan kerja kotor/ oshoku (Jepang) (KPK, 2007:2). Berdasarkan makna di atas, korupsi dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang bersifat merusak dimana tindakan tersebut berbentuk keserakahan yang nantinya dapat merusak suatu kelompok tertentu.

Secara ringkas korupsi dapat dikelompokkan menjadi:
1. Merugikan keuangan negara;
2. Suap menyuap (istilah lain: sogokan atau pelican);
3. Penggelapan dalam jabatan;
4. Pemerasan;
5. Perbuatan curang;
6. Bentuk kepentingan dalam pengadaan;
7. Gratifikasi (istilah lain: pemberian hadiah)

                Sejarah menunjukkan hampir setiap peradaban kuno dunia mengalami masalah ini. Beberapa deretan peradaban kuno yang tersentuh praktek korupsi seperti Babilonia, Mesir, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno serta di negara-negara Barat (Eropa dan Amerika). Di India Kuno korupsi juga merajalela. Kautilya (abad IV SM), perdana menteri Maurya yang paling terkenal sangat menaruh perhatian terhadap korupsi. Pegawai negara dan keluarganya yang bertindak korup diganjar dengan hukuman mati. Sebagian lain diusir dari kerajaan dan disita harta kekayaannya. Gaius Verres (115-43 SM), pejabat Negara Romawi kuno yang terbukti melakukan korupsi, diasingkan sekaligus dibunuh. Ini adalah gambaran betapa korupsi telah menjadi masalah sejak ribuan tahun silam.

Untuk memahami apa penyebab korupsi dapat digunakan konsep Fraud Triangle. Menurut konsep tersebut, maka korupsi terjadi disebabkan adanya tiga hal yaitu adanya tekanan (pressure), pembenaran diri (justification), dan kesempatan (opportunities).

Korupsi dapat terjadi karena adanya tekanan baik dari dalam (internal) maupun luar (eksternal). Tekanan dari dalam berupa gaya hidup yang mewah dan masalah keuangan. Tekanan dari luar berupa adanya dorongan dari lingkungan yang mengharuskan seseorang untuk melakukan korupsi. Tekanan dari luar ini berupa keterpaksaan seseorang untuk melakukan korupsi. Apabila seseorang tidak melakukan korupsi maka dirinya tidak akan dapat selamat dari lingkungan tersebut. 

           Hal berikutnya yang menyebabkan korupsi adalah pembenaran sikap. Seseorang melakukan korupsi karena merasa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang tidak salah. Selain itu, pembenaran sikap korupsi terjadi karena dia merasa bahwa orang lain juga melakukan hal yang sama. Pembenaran sikap ini terjadi karena pemahaman seseorang yang kurang mengenai korupsi. Hal terakhir yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi adalah adanya kesempatan. Kesempatan ini muncul karena pengawasan yang kurang pada suatu sistem. Sistem yang ada tidak mendukung adanya pencegahan maupun pengawasan atas tindakan korupsi.

Perbuatan menyimpang tersebut dapat dihubungkan dengan teori Menurut Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas(minus accountability), menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi.

Dasar alamiah manusia yang memiliki hawa nafsu dalam hal ini kebutuhan, cara hidup manusia, keinginan-keinginan manusia terus meningkat. Hal ini membuat korupsi dipandang sebagai cara pemenuhan kebutuhan yang tak terbatas ini. Korupsi adalah kontradiksi khusus. Ia terlahir dari ideologi atau pandangan hidup seseorang. Saat Indonesia mengalami pergeseran sistem, hal ini menyebabkan cara pandang massa rakyat juga berubah (baca: terkondisikan)

Inilah yang menjadikan tekanan-tekanan terjadi. Seperti saat ini, Indonesia yang awalnya bersistem ekonomi kerakyatan, bergeser kepada sistem kapitalistik. Hal ini telah mengubah cara pandang massa rakyat yang awalnya mendorong kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat menjadi tertekan untuk turut berpandangan kapitalistik dengan watak akumulasi modal, ekspansi dan eksploitasi. Dapat dikatakan bahwa kapitalisme adalah kontradiksi pokok. 

               Jika kita lihat dari segi kapitalistiknya, Indonesia memiliki tekanan ketergantungan dengan utang luar negeri yang membuat semakin terpuruk. Dalam hal ini, utang luar negeri turut membawa syarat-syarat lainnya, seperti liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Tak heran muncul berbagai kebijakan yang memungkinkan peluang-peluang praktek korupsi terjadi. Melalui kapitalistik ini pula, mentalitas korupsi tersusupkan pada anak bangsa melalui aparatus ideologis yaitu pendidikan. Pendidikan telah di desain ulang hanya sebatas komoditas industrialisasi. Hal ini menciptakan tekanan secara internal yang memunculkan watak-watak koruptor.

Dari survey Trasparency.org (2013) sebuah badan independen dari 146 negara, tercatat 10 besar Negara yang dinyatakan sebagai Negara terkorup  di dunia. Indonesia masuk peringkat kelima Negara terkorup setelah Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, dan Kamerun. Setelah Indonesia berturut-turut ada Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, dan Rusia. Pada 2014, muncul trendline korupsi di Indonesia meningkat, tidak hanya pada jumlah kasus, namun juga jumlah tersangka. 

Kapitalisme telah melahirkan massa rakyat berjiwa borjuis. Terciptanya masyarakat borjuis ini mampu menjadi pendorong timbulnya korupsi yang merupakan faktor tekanan dari dalam (internal). Hal ini masih terkait dari pendidikan yang dikondisikan kapitalisme pula, yang menjadikan pendidikan sebatas komoditas industrialisasi.

Kapitalisme di Indonesia adalah kapitalisme yang bersifat kapitalisme perkoncoan (crony capitalism). Disebut kapitalisme perkoncoan karena dapat dilihat hubungan erat antara pengusaha-pengusaha dengan pejabat-pejabat dalam menjalankan praktik kapitalisme. Selain itu, kapitalisme perkoncoan nampak dengan banyaknya pejabat maupun anaknya yang menjadi pengusaha dan banyaknya pengusaha yang menjadi pejabat. (Baswir, 1999:30) 

Sistem kapitalisme perkoncoan membuka peluang yang besar bagi berkembangnya korupsi. Di Indonesia, kapitalisme perkoncoan ini nampak pada pembanguan proyek dengan tender yang tidak transparan. Banyak proyek pembangunan yang dilakukan swasta melalui tender tertutup.

Kasus korupsi di Indonesia yang sering ditemui adalah kasus suap dan gratifikasi. Dengan meninjau kasus korupsi tersebut dimana faktor tekanan secara eksternal menjadi penyebab korupsi, maka dapat dipahami korelasinya dengan kapitalisme. Baru-baru ini KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten dan bos PT Banten Global Development (BGD)

            Penangkapan ini terkait suap pembentukan sebuah bank di Banten (1/12/2015). KPK juga memeriksa Gubernur Banten Rano Karno dan Sekretaris Daerah Banten Ranta Suharta sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD). Arus ini bersumber dari kapitalisme, bahwasannya kapitalisme berorientasi pada keuntungan yang berlipat, mengekspoitasi dan mengekspansi pasar. 

Sedangkan cara yang paling mudah mendapatkan keuntungan adalah dengan memberikan suap atau gratifikasi kepada pejabat oligarki sehingga suatu korporasi memenangkan suatu proyek (baca : keuntungan). Dalam sistem kapitalisme, terdapat dorongan terjadinya korupsi karena korporasi memaksimalkan untuk mencari keuntungan berlipat. 

Kemudian yang menyebabkan adanya korupsi adalah pembenaran sikap. Akibat dari sistem yang tidak benar yang berakumulasi bertahun-tahun akan menyebabkan faktor ini menjadi nyata. Terdapat kecenderungan untuk melakukan korupsi dikarenakan seseorang tersebut menganggap bahwa tidak hanya dirinya saja yang melakuan. Korupsi sudah dianggap lazim dari yang mulai dari nominal kecil hingga besar.

Kecenderungan ini sayangnya tidak hanya dialami oleh satu orang saja sehingga menyebabkan pembenaran untuk melakukan korupsi di suatu lingkungan. Dalam kapitalime, elit-elit politik dari oligarki juga berpikiran demikian. Mereka menganggap bahwa tidak hanya dirinya saja yang melakukan suap“serangan fajar” sebagai strategi kampanyenya. Sehingga, lama-kelamaan akan terbentuk suatu pemikiran di masyarakat luas bahwa suap menyuap adalah perkara lumrah oleh seseorang yang mencalonkan diri dalam elektoral. Di Indonesia, sistem pemerintahan masih sangat lemah dan mengikuti alur kapitalisme. 

Hal ini menyebabkan orang baik yang masuk dalam sistem akan dapat ikut melakukan korupsi. Di Indonesia, korupsi sudah menjalar ke berbagai institusi, bahkan korupsi pun juga ada di dalam dunia pendidikan. 

             Korupsi di Indonesia telah dilakukan oleh berbagai instansi dan bidang. Korupsi sistemik ini juga ditandai dengan adanya suatu pembenaran sikap bahwa dirinya bukanlah satu-satunya orang yang korupsi. Hal ini menandakan bahwa korupsi telah terjadi dimana-mana. Selain itu, perpaduan antara tekanan dan pembenaran dalam korupsi ini, terbungkus rapi dengan adanya kesempatan-kesempatan yang terbaca. Seminim apapun kesempatan itu menjadi celah terjadinya korupsi. Faktor tekanan telah membuat koruptor pintar menyiasati keadaan dengan melihat dari setiap peluang atau kesempatan yang ada sehingga pembenaran-pembenaran akan melindungi setiap kesempatan yang ada.

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan korupsi di Indonesia maka dibutuhkan perbaikan dari dimensi internal dan eksternal. Untuk melakukan perbaikan dari dimensi internal (perorangan) bukanlah hal yang mudah. Perbaikan internal dapat dilakukan melalui jalur pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkualitas disini ialah Gratis, Ilmiah dan Demokratis guna menghasilkan pendidikan yang objektif, sesuai kebutuhan basis massa dan memanusiakan manusia. 

Melihat historis dari jaman Ir. Soekarno beliau menggratiskan pendidikan 100%, dikarena bagi beliau pendidikan adalah sektor vital untuk menopang kemajuan negeri, dimana saat itu pendidikan tidak terkondisikan oleh hutang luar negeri. Selain itu ilmiah, bahwa pendidikan ini tidak sebatas komoditas industrialisasi saja, melainkan menemukan akar persoalan dari kesengsaraan hidup rakyat serta solusi jawaban atas persoalan rakyat. Sehingga pola-pola berpikir tidak hanya oportunis, mencari keuntungan atau membalikan modal, namun pure mengatasi permasalahan negeri yang sudah terkondisikan kapitalisme. 

Kemudian demokratis, yaitu rakyat sebagai subjek dari pendidikan mempunyai hak untuk juga ikut menentukan proses pendidikan, termasuk kebijakan-kebijakan terkait dengan pendidikan. Seluruh rakyat, tanpa terkecuali berhak memperoleh pendidikan seluas-luasnya dan setinggi-tingginya tanpa dibeda-bedakan. Maka dari hal tersebut, pendidikan menjadi alat pembebasan untuk memanusiakan manusia, memerdekakan setiap individunya. Sehingga mindset korupsi tidak lagi terbesit ataupun menekan.

           Dari segi eksternalnya, perbaikan dalam sistem mencangkup dua macam, yakni secara ekonomi dan politik. Perbaikan sistem politik, politik tidak lagi berpadu padan dengan kepentingan kapitalistik dan tak lagi menjadi oligarki, pemerintah harus mampu tegas untuk terlepas dari belenggu kapitalistik, gunamendorong Trisakti. Rakyat harus turut andil dalam pengawasan pemerintah.

Perbaikan yang kedua adalah perbaikan dari sistem perekonomian yang ada. Kapitalistik hendak dibuang jauh, yang kemudian kita mengembalikan ekonomi ini menjadi berasas kerakyatan. Fokus Negara ialah mensejahterakan rakyat, tidak lagi menjadi pangsa pemodal asing untuk akumulasi, ekspansi dan ekspolitasi. Sistem perekonomian di Indonesia seharusnya sistem perekonomian kerakyatan yang berlandaskan Pancasila.

Menurut Mubyarto (1998:20), Ekonomi Kerakyatan adalah ekonomi yang bersumber pada ideologi pancasila sebagaimana tercantum pada sila ke empat yaitu, ekonomi kekeluargaan dan kerakyatan. Dengan implementasi Ekonomi Kerakyatan maka faktor internal dan eksternal yang menyebabkan korupsi akan dapat dihindari. Karena fokus kita tidak lagi untuk kepentingan golongan atau individu, melainkan untuk kesejahteraan bersama, sama rata sama rasa.

Perbaikan pendidikan akan mempengaruhi perseorangan dan akan mengatasi faktor tekanan internal. Sedangkan perbaikan sistem pemerintahan akan mengatasi masalah adanya peluang untuk korupsi, sedangkan perbaikan sistem perekonomian akan mengurangi tekanan dari luar (eksternal) untuk melakukan korupsi. Apabila ketiga perbaikan ini telah dilakukan dengan baik maka otomatis pembenaran sikap korupsi akan menghilang dengan sendirinya. Dengan begitu korupsi dapat di lenyapkan dalam tatanan kehidupan di Indonesia. Mari terus bangun kesadaran.

Selebihnya di: http://www.lmndnasional.com/2016/01/pendidikan-berkualitas-dan-perombakan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar