Jumat, 25 Maret 2016

Mengembalikan Ruh KedaulataRakyat Berdemokrasi Sejati: Tanah, Modal Dan Teknologi Modern, Murah Dan Massal Untuk Pertanian Kolektif, Dibawah Kontrol Rakyat

“The Ultimate Goal Of Farming Is Not The Growing Of Crops, But The Cultivation And Perfect Of Human Being”
(Masanobu Fukuola, The One-Straw Revolution)

Suara Pelopor, Banten merupakan wilayah di ujung barat pulau Jawa, yang pada sebelumnya terintegrasi dalam Provinsi Jawa Barat. Namun pada 4 Oktober 2000 mendeklarasikan diri berpisah dan berjejak sebagai Provinsi Banten berdasarkan UU No. 23 Tahun 2000, sebagaimana merujuk pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 

Tujuan awal tegaknya Banten dari Jawa Barat adalah demi melancarkan strukturisasi kesejahteraan rakyat Banten, terpaut dari segi infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan industri perekonomiannya. Bentang luas Banten adalah 9.662,92 km2, dengan jantung pemerintahannya berdomisili di Kota Serang.

Provinsi Banten terdiri dari 4 kabupaten yaitu Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Lebak, sedangkan untuk kota, terdapat 4 kota yaitu Kota Cilegon, Kota Serang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Banten merupakan teritori dengan produktifitas alami gemah ripah loh jinawi. 

Banten menjadi teritori strategis secara ekonomi karena berkedudukan tepat di jalur pelayaran Selat Sunda yang bisa menjadi pintu masuk kapal hasil produksi baik dari wilayah Banten itu sendiri atau bahkan hingga wilayah Semenanjung China yang ingin menuju Australia dan sekitarnya, serta dekat dengan jantung konstruksi negara yaitu DKI Jakarta. 

Perikanan lautnya juga sangat signifikan mengingat 75% daerah Banten dikelilingi laut. Perairan Banten dikenal sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Tanjung Lesung pun diabsahkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), hal ini sesuai potensi wilayah Banten sebagai provinsi yang memiliki basis pariwisata internasional. 

SDA yang juga menjanjikan ialah pertambangan, berupa tambang emas di Cikotok, intan di Cibaliung, bijih besi di Cikurut, bahan Mika di Bojong bahan semen di Anyer, belerang di Walantaka dan Padarincang, batubara di Gunung Kencana, Gunung Madur dan lain-lain.

Berkompas pada kelebihan alamiahnya, bahwa potensi Sumber Daya Alam Banten ialah tumpah ruah, terutama sektor agraria. Subsektor pertanian merupakan salah satu kegiatan ekonomi fundamental bagi sebagian besar penduduk Provinsi Banten. 

Subsektor pertanian menjadi corak mayoritas pada komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian maupun dalam landasan strukturtural perekonomian di Banten. Hal ini menunjukan bahwa agraria merupakan sektor penggerak utama dinamika pertumbuhan ekonomi wilayah Banten.

Istilah “agraria” lahir dari bahasa latin yaitu “ager” yang bermakna “lapangan”, “pendusunan” atau “wilayah”. Dalam istilah lain, agraria merujuk kata “agger” yang berarti sebagai tanggul penahan/pelindung, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan tanah, dan bukit. Maka persepsi agraria ini tidak terpaku dalam konteks tanah saja. 

Penafsiran agraria bersendi pada UUPA 1960 (UU no 5/1960) adalah Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Menilik potensi Banten, yang menjadi subsektor agrarianya ialah tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, pertambangan dan pertanian. Produksi pertanian dan perkebunan Banten ialah berupa padi, palawija, karet, kelapa, cengkeh, lada, vanili, dan melinjo. Namun dominasi tiap daerah berbeda di Banten, salah satu contoh dapat dilihat dari data tahun 2001 mengenai produksi karet, Kabupaten Lebak memproduksi karet terbesar dibandingkan dengan daerah lainnya selama kurun waktu tahun 1998-2000 dan juga memanen tanaman bahan makanan seperti padi, jangung, ubi jalar dan sayur-sayuran. 

Sedangkan Kabupaten Pandeglang memproduksi tanaman kelapa terbesar selama kurun waktu tahun 1998-2000. Selain itu, ketika memasuki kawasan Mauk, Pantai Utara wilayah Propinsi Banten terlihat tanahnya datar dan subur, yang mampu menghidupkan tongkat kering menjadi pohon rindang. Banyak masyarakat yang berdatangan ke kawasan Pantura pada saat musim panen. 

Mauk membuat daerah lain iri dan banyak orang dari berbagai daerah berdatangan terutama pada musim panen. Namun dari berbagai potensi agraria inilah, 60% rakyat Indonesia memilih bernafas dari penghasilan bertani, melihat potensi tanah dan kemampuan yang dimiliki.

Dengan segala potensi agraria Banten, terdapat fakta yang tak dapat ditampik terkait agraria sebagai penyokong teritori ini. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia tempo dulu disebut sebagai Negara agraris, Indonesia adalah paru-paru dunia. Namun lambat laun sirkulasi globalisasi telah menuaikan kapitalisme dan imprealisme bersarang dan menanamkan industrialisasi asing hingga menjamur sampai pelosok negeri. Lantas bagaimana kabar agraria Indonesia terutama Banten hari ini????? 

Dalam catatan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) Di tahun 2012, terjadi 198 kasus terkait konflik agraria, dengan area konflik 963.411 hektar, melibatkan 141.915 keluarga. Angka ini, menjulang dari 2011, sebanyak 163 kasus, dengan 22 warga tewas dan 2010, sebanyak 106 konflik. Dari 198 kasus ini, sekitar 90 kasus di sektor perkebunan (45%); 60 sektor pembangunan infrastruktur (30%); 21 sektor pertambangan (11%); 20 sektor kehutanan (4%). Lalu, 5 sektor pertanian tambak atau pesisir (3%) dan 2 sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (1 %). 

Konflik agraria sepanjang 2004 hingga kuartal II 2014 sedikitnya di Indonesia telah tumpah 1.379 kasus (perkebunan, kehutanan, infrastruktur, pertambangan dan pesisir kelautan). Seluas 4.162.822,15 hektar sebagai area konflik yang bersifat struktural, dimana ada lebih dari 922.781 Kepala Keluarga harus ditempa ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan yang tidak eksplisit egalisasinya. 

Sementara itu, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat TNI/Polri dalam penanganan konflik dan sengketa agraria yang melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat telah berbuntut 1354 orang ditahan, 556 mengalami luka-luka 110 orang diantaranya mengalami luka serius akibat peluru aparat, serta meninggalnya 70 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut.

Tidak berhenti pada konflik agraria saja, namun berdasarkan BPS (2014) di Provinsi Banten terjadi laju penyusutan luas baku lahan pertanian di Banten dalam lima tahun terakhir yang mencapai 0,14% per tahun atau menghilang sekitar 273 ha tiap tahun. 

Pada 2013, luas baku lahan sawah yang tersebar di empat kabupatan dan empat kota di Banten tersisa 194.716 ha. Adapun rincian sisa sawah di empat kabupaten, adalah Lebak tersisa 45.843 ha, Pandeglang 54.080 ha, Tangerang 38.644 ha dan Serang 45.024 ha. Sementara luas baku lahan sawah di kawasan perkotaan seperti Tangerang tersisa 690 ha, Cilegon 1.746 ha, Serang 8.476 ha dan Tangerang Selatan hanya tersisa 213 ha.

Berdasarkan pemaparan Distanak Provinsi Banten, tahun 2009 luas lahan sawah yang ditanami padi 195.809,0 hektar, dan pada tahun 2013 menukik tajam menjadi 194.716,0 hektar atau berkurang 11 ribu hektar lebih. Penyebab krusial adalah alih fungsi lahan. 

Padi ke tanaman kayu, dan peralihan ke pembangunan industri. Geliat pertumbuhan industri di Kabupaten Serang beberapa tahun terakhir sedang meningkat.  Untuk wilayah Banten Selatan alih fungsi lahan disebabkan masyarakat ramai-ramai mengganti tanaman pangan ke kayu, albasiah, jengjen, dan untuk wilayah Tangerang dari sawah padi beralih ke industri.

Jika kita menarik kembali pada historisnya, pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, subsektor pertanian berkembang pesat dan meluas hingga melampaui daerah Serang, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut dibuat terusan irigasi dan bendungan. 

Danau Tasikardi merupakan sumber (buatan) dalam pemenuhan kebutuhan air bersih penduduk kota, sekaligus sebagai sumber pengairan bagi daerah pesawahan di sekitar kota. Sistem filtrasi air bermetode sedimentasi di Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih ialah bukti majunya teknologi pengelolaan air pada masa tersebut. 

Sampai di masa Sultan Abufath Abdulfattah, bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat mendapat perhatian utama. Meskipun disibukkan dengan urusan konflik dengan VOC, Sultan tetap melancarkan strategi pembangunan dengan menciptakan saluran air untuk kepentingan irigasi serta memudahkan transportasi dalam peperangan. 

Upaya itu mendorong pula meningkatkan produksi pertanian yang erat hubungannya dengan kesejahteraan rakyat serta untuk kepentingan logistik jika mengadapi perang. Karena usaha Sultan yang mengedepankan pengairan berupa penggalian saluran-saluran menghubungkan sungai-sungai yang membentang sepanjang pesisir utara, atas  jasa-jasanya tersebut ia digelari Sultan Ageng Tirtayasa.

Kembali ke permasalahan agraria Banten dewasa kini, maka yang menjadi pokok problematika agraria (tanah, air, dan kekayaan alam) adalah konsentrasi kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria baik tanah, hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan korporasi besar yang berujung pada sengketa agraria. Badan Pertanahan Nasional (2011) mencatat 2.791 kasus pertanahan pada tahun 2011.

Sengketa agraria mencerminkan ekspansi kapital, paralel dengan agenda liberalisasi ekonomi dalam penghisapan sumber daya alam dan aneksasi tanah-tanah potensial untuk kepentingan bisnis. Ini bukan hanya berbicara penguasaan teritori atau wilayah, tetapi juga perampasan sumber daya dan ruang lingkup ekonomi masyarakat (petani dan masyarakat adat). 

Dalam proses ini, kekuatan kapital (perusahaan asing dan domestik) memanfaatkan aparat represif berupa TNI dan Polri, security perusahaan, sampai preman bayaran, guna menyingkirkan paksa masyarakat dari kawasan ekonomisnya.

Para kapitalis (pemodal) merampas sumber daya dan mencuatkan konversi lahan untuk menjadi konstruksi industri serta lahan permukiman guna memuluskan penghisapan berkelanjutan. Tak jarang pula, masyarakat kecil terkondisikan, dimana pertanian dirasa menjadi sektor yang tidak lagi menjanjikan dalam semakin kerasnya hidup. 

Pupuk yang kian mahal, harga beli oleh tengkulak yang murah, pendangkalan saluran air baik di saluran primer, sekunder, maupun tersier, adanya tanggul yang jebol, dan volume air yang tidak memadai dan tuntutan ekonomi yang kian meruncing dan mengoyak hidup petani dan orang-orang berkebun.

Dari berbagai macam permasalahan yang timbul kita dapat menarik kontradiksi pokok yang dihasilkan dari sektor ekonomi sebagai penopang utama kehidupan berupa kapitalisme dan imprealisme. Bahwa dewasa ini, ekonomi kerakyatan yang tadinya dipegang teguh oleh rakyat Banten kian tergeser oleh ekonomi kapitalistik. 

Para kapitalis mengeruk keuntungan dengan watak akumulatif, ekspantif serta eksploitatif. Merasuk pada sektor ekonomi, kapitalisme telah mematahkan sendi-sendi masyarakat kecil (baca: buruh, petani dan rakyat miskin kota) yang dirasa tidak melipatgandakan marginnya. Rakyat kecil kemudian digiring pada dunia baru, berupa neoliberalisme.

Kapitalisme dan imprealisme membuat pemerintah sebagai rubrik untuk menyusup, sehingga terjadi pula pencampakan tanggung jawab pemerintah kepada daerah melalui otonomi daerah, bahwa setiap wilayah berhak untuk menggariskan reformasi daerahnya masing-masing, melihat sektor dominan yang diperuntungan sehingga setiap daerah berusaha sendiri untuk memajukan daerahnya dan tak jarang bekerjasama dengan asing kembali untuk memajukan daerah dengan cepat.

Indonesia telah menjadi anggota WTO (World Trade Organization) selama 20 tahun terakhir. Iming-iming memajukan negeri, WTO justru menyerembabkan bangsa ini terjerat dalam perkara besar. 

WTO telah merapuhkan daya saing Indonesia, di dalam negeri berimbas meluasnya praktik korupsi dan impor pangan Praktik yang dilakukan oleh kapitalime dan imprealisme dalam hal ini adalah liberalisasi. Bahwa kini segala hal yang bertautan dengan urusan pangan disuguhkan kepada mekanisme pasar, melalui kebijakan dan praktik yang tanpa disadari membawa kepada arus krisis pangan. 

Mekanisme perdagangan bebas pertanian kini sudah diabsahkan oleh WTO atau World Trade Organization. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebarnya, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). 

Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa, beserta perusahaan-perusahaannya malah meningkat, mencapai US$ 8.496 juta,. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.

Ada pula keterkaitan kapitalisme ini dengan deregulasi, bahwasannya kini muncul kebijakan-kebijakan yang mengedepankan borjuasi raksaksa milik asing yang menyikut pertanian rakyat. Kita dapat bercermin pada UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, serta kebijakan MP3EI yang menjadi prodak titipan asing memuluskan strateginya. 

Kebijakan MP3EI merupakan proyek pembangunan yang dikondisikan oleh perkembangan kapitalisme global, yang menempatkan Indonesia berada dalam posisi yang menunjukan kecenderungan “turun tingkat” kembali ke Periphery dalam Capitalist World Economy. Dengan regulasi yang didesain sedemikian rupa, hal ini memudahkan privatisasi yang mengalir kepada monopoli atau kartel sektor pangan yang semakin luas. 

Sangat disayangkan pemerintah tidak mengimbangi dengan pembangunan koperasi berbasis kerakyatan sebenarnya serta membangkitkan UKM yang bergerak pada sektor pangan.

Telah disinggungkan diatas bahwa dampak liberalisasi adalah mekanisme perdagangan pertanian dialokasikan kepada mekanisme pasar yang dikuasai oleh kapitalisme yang semata-mata mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk dirinya dan menghisap habis negara satelit. Sesuai teori Dependensia (Karl Marx) bahwasannya praktik kaum elite dengan berbagai alasan itu tidaklah membantu "negara miskin", tapi menambah ketergantungan (baca: pemerasan) kepada mereka. 

Indonesia, terutama Banten kini tidak lagi memiliki kedaulatan pangan, hal ini amat sangat disayangkan menginggat bahwa potensi SDA yang dimiliki Banten ialah luar biasa. Lagi-lagi praktik privatisasi dalam hal ini yang hanya memenangkan kepentingan asing untuk berekspansi, akumulasi dan eksploitasi.

Privatisasi sektor pangan yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat tidaklah sesuai dengan mandat konstitusi RI pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Faktanya kini Bulog dijadikan privat dan industri hilir pangan sampai distribusi (ekspor-impor) digenggam oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. 

Yang menjadi kenyataan hari ini bahwa pertanian bukan menjadi sorot pandang prioritas masyarakat Banten, tekanan terhadap keadaan pasar yang mencekik dan transformasi dunia yang begitu cepat membuat penggiat agraria beralih pandangan. Tidak sedikit kini petani yang bekerja tidak pada ladangnya sendiri. Mereka hanya menjadi buruh tani berupah murah, konsekuensi dari lahan-lahan yang sudah dijual untuk menutupi kebutuhan hidup. Kemudian tanah-tanah ini diolah menjadi pemenuhan sektor industri. 

Hal ini merubah corak Banten sebagai wilayah agraris menjadi wilayah industrialisasi asing. Banyak perusahan asing yang mengakuisisi perusahaan industri di Banten. Hal ini hanya menjadikan petani (rakyat) tidak lagi jadi penggarap, melainkan sebatas buruh murah dan konsumen atas prodak kapitalis atau end-user semata.

Dalam keterkaitannya, permasalahan Banten kian kompleks dan memanjang. Penciptaan sumber pendapatan baru masih rendah,  masih banyak hambatan infrastruktur dan sarana pendorong laju ekonomi terutama kerusakan jalan dan fasilitas umum, angka kemiskinan yang cukup tinggi yaitu 652.798 jiwa (5,85% dari keseluruhan penduduk pada Maret 2012), angka pengangguran yang tinggi yaitu 579.677 orang (10,74 % dari total angkatan kerja pada Februari 2012), besarnya kesenjangan kesejahteraan antar wilayah (terutama wilayah utara dan selatan) dan minimnya komoditas ekspor berbasis potensi lokal. 

Banyak pula dari penduduk usia sekolah menengah yang tak sekolah dan juga tak bekerja. Kemudian menghilangnya pasar-pasar tradisional oleh meluasnya pasar kapitalis dan liberalis menyusupi nadi perekonomian Banten yang mematahkan sendi-sendi perekonomian Banten berbasis ekonomi kerakyatan.

Dibalik permasalahan yang ada, perlu adanya menarik sebuah solusi yang sekiranya menghilangkan kesenjangan yang ada agar dapat mencapai kesejahteraan rakyat, yaitu mengembalikan tanah, modal dan teknologi modern, murah dan massal untuk pertanian kolektif, dibawah kontrol rakyat sebagai langkah konkrit kedepannya.

Pemerintahan harus menata struktur agraria di Pulau Jawa dengan menata ulang pemilikan dan pengusahaan tanah di Jawa yang selama dikuasasi dan dikelola oleh Perhutani, PTPN dan perkebunan swasta terlebih dahulu, sebelum memilih program transmigrasi. Terdapat 2,7 juta hektar tanah Perhutani dan 650.000 hak guna usaha (HGU) di Pulau Jawa yang harus dikonversi menjadi koperasi-koperasi rakyat, yang dimiliki oleh petani secara kolektif atau pun Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). 

Upaya penataan ulang ini penting dilakukan segera utamanya di tanah-tanah kawasan Perhutani, PTPN atau pun perkebunan swasta yang telah mengakibatkan konflik agraria, tumpang tindih klaim dengan masyarakat dan kondisi kemiskinan di pedesaan akibat ketiadaan atau hilangnya akses dan hak atas tanah dan SDA lainnya. Penataan ini akan jauh lebih berhasil dan bermanfaat bagi kelangsungan lingkungan hidup keluarga petani dan masyarakat umumnya di pedesaan.

Pemilihan  objek  pembaruan  agraria  yang  diutamakan  dalam rencana yang dimaksud, seperti Hutan Produksi Konversi yang berada di bawah Kementerian Lingungan Hidup dan Kehutanan dan Areal Penggunaan Lain (APL) di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, menandakan bahwa pemerintahan tidak melihat bahwa persoalan agraria selama ini adalah akibat pemberian izin dan konsesi di masa lalu yang terus berlangsung hingga kini kepada pihak perusahaan perkebunan dan kehutanan, yang menyebabkan konflik agraria berkepanjangan di banyak wilayah di tanah air. 

Oleh karena   itu,  Pemerintah   wajib   meredistribusikan tanah-tanah yang seturut dengan pengembalian tanah-tanah masyarakat yang terampas. Dengan begitu izin HTI, HPH dan HGU perkebunan seharusnya menjadi prioritas upaya penataan pemerintah.

Dalam siarannya pemerintah juga menyebutkan akan mengalokasikan tanah tersebut untuk digunakan sebagai perkebunan tebu, sawit dan  kedelai. Namun, konsep estate pertanian bagi perusahaan akan membuka kembali pembelokan arah dan tujuan redistribusi tanah yang sejati kepada petani menjadi program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang digabungkan dalam Transmigrasi. 

Ini tentu mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya, bahkan sejak masa Orde Baru. Pemerintahan seyogyanya mendorong agar pelaksanaan redistribusi lahan bekerjasama dengan organisasi petani dan mendorong transformasi petani dan pertanian nasional dimiliki dan diusahakan oleh badan usaha koperasi  yang dimiliki petani sebagaimana amanat  UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).

Prinsip dalam penyelesaian sengketa agraria adalah mengembalikan kepada kaum tani yang menjadi korban perampasan tanah disertai ganti rugi jika tanah tersebut belum berubah menjadi kapital yang produktif, jika tanah yang menjadi sengketa sudah menjadi kapital yang lebih produktif pengelolaannya diserahkan kepada kaum tani yang menjadi korban dengan membentuk Dewan Tani dan atau memberikan ganti untung (bukan ganti rugi), jika yang kaum tani yang bersangkutan menghendakinya.

Tanah-tanah negara dan swasta yang tidak dikelola secara produktif didistribusikan kepada kaum tani dan pengelolaannya diserahkan kepada Dewan Tani - Dewan Tani setempat.

Pemerintah memang memiki program Nawa Cita yang diantaranya adalah meningkatkan kepemilikan petani atas tanah pertanian menjadi rata-rata 2 hektar (saat ini kurang dari 0,8 hektar) dan meningkatkan swasembada pangan dalam rangka ketahanan pangan. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bahwa program redistribusi lahan sebesar 9 juta hektar dalam rencana pemerintah tersebut telah ditunggu oleh masyarakat. 

Namun, bagi KPA yang selama ini terus mendorong agar pemerintah menjalankan pembaruan agraria yang di dalamnya termasuk program landreform (redsitribusi tanah) untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan atas tanah.

Namun patut di pertanyakan bagaimana petani  tak  bertanah  dan  petani  kecil (petani gurem) yang keberadaannya  terbanyak di  Jawa, Bali, Lampung, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan??? Sementara alokasi tanah yang dibicarakan oleh pemerintahan adalah tanah Kawasan Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK) yang notabene berada di luar Jawa. 

Tidak mengherankan jika titik tekan pemerintah adalah program transmigrasi. Jika program redistribusi tanah ini dititikberatkan melalui program transmigrasi, maka pemerintahan harus mengingat bahwa kegagalan program transmigrasi adalah karena pemerintah enggan menyelesaikan masalah agraria, khusus  di  Pulau  Jawa  memilih  menyelesaikannya  dengan  cara  memindahkan  penduduk keluar pulau.

Sarana produksi perlu pula mendapat perhatian dari pemerintah terutama pupuk dan mesin-mesin pertanian (traktor, mesin giling, mesin perontok, mesin pengering). Dalam menekan harga pupuk makan Indonesia perlu melakukan nasionalisasi industri gas, minyak, dan listrik sehingga dapat menekan harga. Penutupan pabrik-pabrik pupuk oleh karena kekurangan pasokan gas seperti yang selama ini terjadi diakibatkan oleh karena pemerintah telah menjadi kacung dari kaum imperialis yang menguasai industrial gas. 

Negara juga harus memfasilitasi, mengembangkan, dan memajukan industri mesin-mesin pertanian melalui pendidikan berkualitas, dan juga industri pengolahan hasil-hasil pertanian. Dalam masa transisi, dimana dibutuhkan proses untuk menuju kemampuan dalam negeri dalam memproduksi mesin-mesin bagi industri pertanian, diperbolehkan melakukan impor mesin-mesin bagi industri pertanian.

Bercermin pada Negara Sakura yang maju dalam pertanian, mereka sangat mendukung petaninya dengan teknologi-teknologi terbaharukan, mereka menggunakan sistem rekayasa genetika dalam menghasilkan kualitas yang lebih bagus. Penyelesaian konflik atau sengketa agraria juga menjadi agenda yang bersifat mendesak. Kaum tani telah ditindas secara fisik dalam mempertahankan hak-hak atas tanahnya selama puluhan tahun, sejak berdirinya kekuasaan Orde Baru hingga saat ini.

Perlu keseriusan pemerintah baik pusat maupun daerah, karena adanya sentralisme demokrasi yang harusnya dijalankan. Otonomi daerah seharusnya tidaklah menghalangi agenda kemajuan negeri ini. Pemerintah harus terfokus memberikan kesejahteraan rakyatnya dan mampu keluar dari jebakan lingkaran setan para kapitalis asing yang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Saat kita mengembalikan tanah, modal dan teknologi modern, murah dan massal untuk pertanian kolektif, dibawah kontrol rakyat tentu pemerintah harus berani untuk tidak lagi bergantung kepada kapitalis asing, mengingat potensi negeri yang dapat diolah secara arif begitu besar untuk kesejahteraan bangsa. 

Pemerintah dapat menarik diri dari kebijakan-kebijakan dan organisasi dunia yang dirasa tidak pro terhadap kebutuhan rakyat. Dengan seluruh potensi dan kedaulatan rakyat, akan tercipta kedaulatan pangan dan Indonesia dapat kembali menjadi negara agraris, paru-paru dunia. Dengan kembalinya kesadaran kita akan pentingnya sektor agraria di Banten, maka sektor-sektor lainnya pun, seperti pariwisata, industri nasional, UKM, dan lainnya diharapkan terlepas pula dari pengkondisian kapitalisme dan imprealisme, tidak hanya pada Provinsi Banten saja, namun provinsi-provinsi lainnya. 

Yang pada akhirnya seluruh sektor di Indonesia, terutama di Banten dalam konteks ini dapat optimal diberdayakan secara komunal, guna bermuara pada implementasi tujuan Negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV.

Selebihnya di: http://www.lmndnasional.com/2015/06/mengembalikan-ruh-kedaulatan-rakyat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar