Jumat, 25 Maret 2016

Neoliberalisme; Aroma Busuk Si Monster Pemakan Dunia

NEOLIBERALISME; AROMA BUSUK 
SI MONSTER PEMAKAN DUNIA

“Neo-liberalism is not the natural human condition, it is not supernatural, it can be challenged and replaced because its own failures will require this”- Susan George (1999).

Suara Pelopor, Bercermin pada masa lampau, pada prinsipnya penjajahan diatas dunia merupakan penindasan struktural melalui dominasi kaum dan l’exploitation de l’homme par l’homme (eksploitasi manusia diatas manusia). Dari penjuru dunia, kita masih mendengar kabar tangis lapar, tertindas, tercekik dan terbunuh. Masih banyak kaum-kaum termarjinalkan baik dari buruh, kaum tani, nelayan hingga kaum miskin kota. Bukti dari masih adanya penjajahan diatas bumi adalah masih banyak penggangguran, degradasi lingkungan, kemiskinan, perang dan ketidaksetaraan. 

Semakin perkembangan zaman, arus globalisasi telah membuat penjajahan atau imprealisme ini turut bermetamorfosis. Imprealisme dijaman dahulu menggunakan pasukan bersenjata yang secara langsung merepresi rakyat, onderneming - onderneming kolonial merangsek lahan rakyat, pabrik-pabrik perkebunan kolonial, memberangus hak-hak kemerdekaan, hak-hak berkumpul, hak-hak berserikat, ditekan habis-habisan oleh penjajah. 

Dulu penjajahan langsung menginvasi daerah-daerah bangsa asli benua Asia, Amerika dan Afrika. Kaum penjajah ini kemudian mengaduk-aduk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, lalu mengisapnya hasilnya untuk dialirkan langsung ke negara penjajah. 

Namun jika kita tengok hari ini, penjajahannya sungguh berbeda, karena perkebunan-perkebunan raksasa tidaklah dimiliki dan digarap dengan cara paksa. Penjajahan gaya baru menyusup diam-diam dan menindas secara struktural. Ini tercermin dari habisnya lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang masif tergeser oleh industrial untuk pabrikasi dan sektor-sektor kapital lainnya, seperti perbankan, asuransi, hotel dan lainnya. 

Tanpa disadari imprealisme modern meraup habis dengan berlandaskan faktor ekonomi produksi. Hak-hak rakyat seakan-akan ditegakkan, namun dalam essensinya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi kita tetaplah menjadi basis kepentingan para kapital. Inilah penjajahan gaya baru yaitu neoliberalisme. Penjajahan gaya baru dirasakan secara ekonomi-politik, sosial dan budaya sehingga mengkondisikan berbagai elemnen kehidupan massa rakyat.

Jika kita tarik benang kusut ini hingga ujungnya, maka kita akan dapati bahwa imprealisme ini lahir dari kapitalisme. Dimana imprealisme kuno ialah lahir dari kapitalisme kuno dan imprealis modern lahir dari kapitalisme modern. Dimana perlu diingat pula, bahwa orientasi kapitalisme adalah akumulasi, ekspansi dan eksploitasi. 

Disini kita dapat mengatakan bahwa imprealisme modern inilah yang dimaksud sebagai neoliberalisme. Segala bentuk penindasan yang dialami setelah bangsa Indonesia merdeka, dan juga setelah bangsa-bangsa lain, merupakan agenda neoliberalisme, hal inilah yang oleh Soekarno dinyatakan sebagai neokolonialisme-imperialisme (nekolim). Penghisapan “ekonomi-politik” semacam inilah yang juga secara faktual dialami di Indonesia, dan juga di negara-negara lainnya yang secara geografisnya kaya akan bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya.

Neoliberalisme merupakan filsafat politik yang berakar pada liberalisme klasik yang dasarnya berpacu pada pasar bebas serta pertumbuhan ekonomi. Kemunculan neoliberalisme ialah pada tahun 1960 dan kian mencuat sekitar dekade 1980. Mengutip buku David Harley (2005) A Brief History of Neoliberalism, “neoliberalisme adalah paham yang menekankan jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas, perdagangan bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan pribadi”.  

Neoliberalisme adalah sebuah ideologi Barat yang berakibat pada kesenjangan sosial. Dasar pemikiran dan ideologinya adalah bahwa si lemah/si miskin harus dikorbankan supaya yang si kuat/si kaya bisa berkembang dengan pesat, sehingga pertumbuhan ekonomi domestik juga ikut berkembang. Menurut mereka, pada akhirnya golongan lemah atau miskin akan ikut mendapat manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut (trickle down effect). Ideologi ini berdasarkan filsafat individualisme dan faham hedonisme (FSPI, 2003:1)

(Sumber: Mas’oed: 2002 p. 5 – 7) Bangkitnya liberalisme klasik kembali dapat ditapaki melalui pemikiran dua pemenang nobel Friedrich von Hayek (1899 – 1992) dan Milton Friedman (1912 - 2006). Pengembalian pandangan liberalisme klasik ini tidak terbatas pada ide belaka, melainkan bergulir jua ke dalam kebijakan-kebijakan ekonomi politik domestik di Inggris di bawah Perdana Menteri Margaret Thatcher. Pada saat yang hampir bersamaan diterapkan oleh Ronald Reagan di AS. 

Margaret Thatcher ialah berasal dari partai konservatif, hal ini membuat neoliberalisme kian disandingkan dengan neokonservatisme. Karena peranan  Margaret Thatcher yang erat kaitannya dengan kebangkitan liberalisme klasik ini. dalam kancah internasional, AS dan inngris berhasil menopang neoliberalisme menjadi landasan dalam diplomasi internasional. Gagasan-gagasan neoliberal sebagaimana dipraktekkan di Inggris dan AS serta yang diadopsi dalam sejumlah kebijakan lembaga ekonomi internasional dikemas dalam kebijakan yang oleh John Williamson (1993) sebagai Washington Consensus seperti berikut ini:

Kebijakan Washington Consensus
  1. Price Decontrol: Penghapusan kontrol atas harga komoditi, faktor produksi, dan matauang.
  2. Fiscal Discipline: Pengurangan defisit anggaran pemerintah atau bank sentral ke tingkat yang bisa dibiayai tanpa memakai inflationary financing.
  3. Public Expenditure Priorities: Pengurangan belanja pemerintah, dan pengalihan belanja dari bidang-bidang yang secara politis sensitif, seperti administrasi pemerintahan, pertahanan, subsidi yang tidak terarah, dan berbagai kegiatan yang boros ke pembiayan infrastruktur, kesehatan primer masyarakat, dan pendidikan. 
  4. Tax Reform: Perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan, mempertajam insentif bagi pembayar pajak, pengurangan penghindaran dan manipulasi aturan pajak, dan pengenaan pajak pada asset yang ditaruh di luar negeri.
  5. Financial Liberalization: Tujuan jangka-pendeknya adalah untuk menghapus pemberian tingkat bunga bank khusus bagi peminjam istimewa dan mengenakan tingkat bunga nominal yang lebih tinggi dari tingkat inflasi. Tujuan jangka-panjangnya adalah penciptaan tingkat bunga bank berdasar pasar demi memperbaiki efisiensi alokasi kapital.
  6. Exchange Rates: Untuk meningkatkan ekspor dengan cepat, negara-negara berkembang memerlukan tingkat nilai tukar matauang yang tunggal dan kompetitif.
  7. Trade Liberalization: Pembatasan perdagangan luar negeri melalui kuota (pembatasan secara kuantitatif) harus diganti tarif (bea cukai), dan secara progresif mengurangi tarif sehingga mencapai tingkat yang rendah dan seragam (kira-kira 10% sampai 20%).
  8. Domestic Savings: Penerapan disiplin fiskal/APBN, pengurangan belanja pemerintah, reformasi perpajakan, dan liberalisasi finansial sehingga sumberdaya negara bisa dialihkan sektor-sektor privat dengan produktivitas tinggi, dimana tingkat tabungannya tinggi. Model pertumbuhan neo-klasik sangat menekankan pentingnya tabungan dan pembentukan kapital bagi pembangunan ekonomi secara cepat.
  9. Foreign Direct Investment: Penghapusan hambatan terhadap masuknya perusahaan asing. Perusahaan asing harus boleh bersaing dengan perusahaan nasional secara setara; tidak boleh ada pilih-kasih.
  10. Privatization: Perusahaan negara harus diswastakan.
  11. Deregulation: Penghapusan peraturan yang menghalangi masuknya perusahaan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan yang membatasi persaingan; kecuali kalau pertimbangan keselamatan atau perlindungan lingkungan hidup mengharuskan pembatasan itu.
  12. Property Rights: Sistem hukum yang berlaku harus bisa menjamin perlindungan hak milik atas tanah, kapital, dan bangunan.
Seperti yang sebelumnya dibedah, dalam konsepsi neoliberalisme faktor ekonomi menjadi poros dominan dari sektor lainnya. Segala macam peraturan maupun kebijakan yang menghalangi dan menghambat “perkembangan ekonomi” yang menjadikan kapitalisme sulit dalam menghisap profit maka akan dicampakan dan dibumihanguskan. Dampaknya, terjadi pengabaian pemerintah terhadap sektor lingkungan hidup, sosial-budaya, kesehatan dan banyak lainnya yang kemudian bermuara kesenjangan dalam lapisan massa rakyat, tersisihnya kaum  proletar.

Harvey (2005, 2007) telah mengupas terkait “Neoliberal State” (negara neoliberal), dimana negara yang mengadopsi neoliberal memiliki misi pencapaian “good bussiness climate” untuk mengakumulasi modalnya, tanpa mengkalkulasi dan acuh terhadap dampak negatifnya. Negara mendorong masifnya pertumbuhan bisnis dengan memfasilitasi dan menyediakan basis-basis kebutuhannya.

Kita dapat melihat akan aktualisasi privatisasi pada sektor-sektor vital Negara, guna mendongkrak geliat industri keuangan (financialization) dan justru Negara terkesan tak acuh terhadap tanggung jawab dalam hal lainnya. Menurut Harvey (2007) Negara menciptakan dan melindungi kerangka kerja secara kelembagaan yang menjamin hak milik pribadi, kebebasan individu, tidak membebani pasar, dan mendorong perdagangan bebas. Dan tidak kalah penting, negara juga mesti menyiapkan militer, polisi, dan lembaga-lembaga peradilan untuk menjamin semua itu bekerja.

Guna memuluskan langkah neoliberalisme, dalam dunia internasional dibutuhkan lembaga mengikat keseluruhan. Ituah peluang yang dilihat oleh kapitalisme dan imprealisme untuk dapat masuk dan mengintervensi Negara lainnya dan melancarkan gaya lamanya berupa akumulasi, ekspansi dan eksploitasi. Di kancah internasional kita tidak asing dengan IMF, Bank Dunia dan WTO. IMF ialahInternational Monetary Fund atau Dana Moneter   Internasional, sedangkan WTO ialah World Trade Organisation atau Organisasi Perdagangan Dunia. 

Sebagaimana disebutkan diatas di tingkat global gagasan neoliberalisme juga menjadi landasan dalam diplomasi ekonomi internasional yang tercermin dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia.

IMF atau Bank Dunia ialah adalah lembaga internasional yang memberikan bantuan pembiayaan kepada Negara yang membutuhkan. Memang kesannya lembaga ini ialah membantu pihak yang kecil, namun melalui hutang inilah, intervensi dilancarkan. Bank   Dunia serta IMF dapat memaksa negara-negara yang sedang berkembang untuk mengambil   dan   menjalankan   kebijakan   neo-liberalisme   serta   pasar   bebas   dengan istilah  samaran  “Penyesuaian  Struktural”  (structural   adjustment).  

Istilah ini digunakan oleh  Bank Dunia dan IMF, agar terkesan membantu, namun prakteknya kebijakan-kebijakan yang dilancarkan lembaga-lembaga internasional ini justru memperkeruh ekonomi politik suatu Negara, contohnya yang terjadi di Indonesia berupa penyuntikan dana hutang namun penghapusan subsidi baik pendidikan, pertanian dan lainnya. 

Jika Indonesia atau Negara lainnya menolak menjalankan kebijakan   pasar   bebas (neo-liberalisme)maka yang menjadi pertaruhan ialah hutang baru yang notabenenya juga untuk pembayaran cicilan hutang tersebut, akan dikurangi bahkan dihentikan   oleh   lembaga tersebut guna mengkondisikan negara satelit mengikuti keinginan mereka.

Tidak jauh berbeda jauh, WTO pun sangat  dipengaruhi oleh kepentingan Borjuasi Asing Raksasa(TNC/MNC)  dan Negara Adidaya. Sebuah laporan yang disponsori PBB dan diajukan kepada  Sub-komisi Hak Asasi Manusia di Jenewa, Swiss menyebutkan bahwa WTO is reflecting an agenda that serves only to promote dominant corporist interests that already monopolise the area of international trade.

WTO mempunyai kekuasaan Penyelesaian Sengketa Perdagangan (PSP) dan setiap kebijakan wajib ditaati anggota WTO. Yang disayangkan, bahwasannya proses PSP hanyalah melahirkan iklim kondusif untuk para kapitalis dan justru mencederai kedaulatan negara lainnya karena tidak sesuai.

Seperti yang kita simak diatas, dampak neoliberalisme kian menjalar hingga kekuasaan kini dalam genggaman pasar bebas yang kemudian berkonsekuensi adanya liberalisasi di pasar uang yang berbasis bunga. Menarik historis, bahwasannya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membuka semua tabir rentannya perbankan konvensional berbasis sistem bunga. 

Kemudian neoliberalisme  mengkondisikan dicabutnya peraturan yang pro terhadap rakyat oleh pemerintah (bea/cukai (tariffs), beberapa standar, undang-undang, (halangan investasi dan aliran lalu-lintas modal) lalu deregulasi, dimana muncul UU dan prodak konstitusi baru yang memang telah menjadi titipan asing guna memuluskan imperiumnya. Muncul pula privatisasi/swastanisasi yaitu dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta serta pencabutan subsidi oleh pemerintah dengan“retorika idealis”.

Tentu dalam pencaturan global, politik hanya berlakon alat perpanjangan dalam ekspansi pasar. Politik hanya berperan mempermudah pasar dan membumihanguskan semua penghalang yang mengancam kelangsungan pasar. Hal ini terpapar karena pasar mempengaruhi konstalasi politik. Lantas aspirasi-aspirasi serta kepentingan massa rakyat hanyalah angin lalu di luasnya padang pasir. 

Melihat historis, Gerakan Reformasi yang meruncing pada didudukinya parlemen pada tahun 1998 merupakan ledakan perlawanan rakyat dari lelahnya panjangnya Rezim Soeharto yang pro terhadap kapitalisme dan imprealisme. 

Tetapi, bergulirnya detik nyatannya rezim neoliberal sukses dalam mengebiri dan memecah belah konsolidasi gerakan rakyat, dampaknya arah reformasi kini bukan lagi untuk mengkonstruksi demokrasi politik dan ekonomi versi rakyat, melainkan kembali menjadi kepentingan rezim neoliberal dan oligarki borjuasi yang mengabdi padanya. 

Substansi semangat reformasi akhirnya berhasil diambil-alih oleh oligarki partai borjuasi yang didukung rezim neoliberal, sehingga arah reformasi yang digagas gerakan rakyat tidak tercapai dan dibelokan.

Maka lambat laun iming-iming memajukan dunia oleh keyakinan paham neoliberalisme seperti melaluiTrickle Down Effect mencuatkan ledakan-ledakan kritik dan mendorong munculnya gerakan resistensi global terhadap praktek-praktek neoliberal. 

Muaknya bangsa dilebihkan pula akan praktek pemaksaan penetrasi neoliberalisme melalui kebijakan yang diwajibkan penerapannya melalui lembaga-lembaga ekonomi internasional, ini semakin mendorong munculnya perlawanan dibawah kesucian kedaulatan negara. 

Maka tak heran, banyak kini muncul tokoh-tokoh politik seperti Evo Morales dari Bolivia, Hugo Chavezdari Venezuela yang dengan lantang tidak mengikuti pola permainan dari kapitalisme dan imprealisme. Mereka menerapkan kebijakan ekonomi politik yang keluar dari pola rezim neoliberal dan menyulutkan semangat gerakan anti neoliberalisme

Fenomena gerakan anti neoliberal di Amerika Latin tersebut menunjukkan keberanian dan keteguhan para pemimpin politiknya yang berbeda dengan kebanyakan pemimpin politik lain di berbagai belahan bumi yang cenderung mengekor dan menjadi kacung demi bantuan (baca: JEBAKAN) asing. Semangat anti-neoliberalisme yang menggeliat di Amerika Latin belakangan ini menyentakkan dunia untuk berani berlawanan arah dengan agenda kapitalisme dan imprealisme. 

Perlu kita ingat dan cermati jika kita melihat Indonesia, Indonesia memiliki potensi sumber daya sangat luar biasa. Jika Indonesia berani untuk tegas, Indonesia dapat maju dengan fokus mengolah negeri ini secara kolektif dan kembali pada rules sebelumnya yaitu menuju Sosialisme Indonesia sebagaimana yang di cita-citakan Bung Karno. MERDEKA!

Selengkapnya di: http://www.lmndnasional.com/2015/06/neoliberalisme-aroma-busuk-si-monster.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar